Ladang Pembantaian
Mayat-mayat mengerubung ketika kami berjalan, tidur, dan makan;
Bau bangkai tak tertahankan, menyeruak dari mayat-mayat yang bengkak dan membusuk
yang sebagian anggota tubuh dan kepalanya telah hilangLy Van Aggadipo, biksu
Phnom Penh, 17 April 1975. Pagi-pagi
buta warga Phnom Penh terbangun oleh suara tembakan yang semakin
mendekat ke kota. Suasana mencekam sudah terasa sejak berhari-hari
sebelumnya dan mimpi buruk sudah di ambang kenyataan. Lon Nol telah
mundur dari jabatannya sebagai Presiden Republik Khmer pada awal bulan
dan mengungsi ke Bali atas undangan Soeharto yang merupakan kawan lama.
Penggantinya, Saukham Khoy, tidak dapat berbuat banyak mengatasi keadaan
genting perang saudara meski Amerika Serikat mendukung penuh
pemerintahan Republik Khmer.
Lima hari lalu, kekalahan secara tidak
resmi telah diakui dan Amerika Serikat melancarkan Operasi Eagle Pull
untuk menarik duta besarnya beserta warga Amerika, warga asing, dan
warga negara Kamboja termasuk presidennya yang terancam bahaya bila
Khmer Merah masuk kota. Setelah sang presiden melarikan diri,
pemerintahan tinggal menyisakan tujuh orang Komite Tertinggi yang
bertugas mempertahankan Phnom Penh sampai titik darah penghabisan.
Namun malang tak dapat ditolak.
Perimeter pertahanan Phnom Penh yang terakhir jatuh ke tangan komunis
pada tanggal 15 April. Lalu pada pagi-pagi buta tanggal 17 April,
Jendral Sat Suksakhan memindahkan pemerintahan ke provinsi Oddar
Meanchay dan suara sang jendral terdengar melalui radio tepat pada pukul
10 pagi yang menyerukan agar angkatan bersenjata menghentikan
pertempuran dan melakukan gencatan senjata dan bersiap melakukan
perundingan untuk menyerahkan Phnom Penh ke tangan Khmer Merah. Pada
akhirnya tentara Khmer Merah benar-benar memasuki kota, melucuti
tentara, menangkap para pejabat tinggi kepresidenan yang masih tersisa,
lalu menggiring para tawanan itu ke Cercle Sportif dan Olympic Stadium
dan mengeksekusi mereka semua. Mimpi buruk itu pun menjadi kenyataan.
Musuh Negara
Guna memenuhi ambisinya menjadi negara petani dan menumpas habis unsur-unsur kapitalisme dari bumi Kamboja, Angkar,
sebutan bagi organisasi Khmer Merah pimpinan Pol Pot, mengusir warga
Phnom Penh dan kota-kota besar lainnya dari tempat tinggal mereka dan
semuanya diperintahkan untuk kembali ke desa-desa asal masing-masing.
Bagi yang menolak dengan alasan tidak punya kampung halaman akan
menghadapi siksaan atau eksekusi. Warga tidak punya pilihan;
berduyun-duyun mereka keluar dari kota sehingga Phnom Penh menjadi kota
mati yang benar-benar kosong. Di pedesaan, situasinya juga tidak lebih
baik. Rakyat dipaksa bercocok-tanam atau bekerja rodi membangun
infrastruktur dengan hanya dibayar makanan sederhana yang mesti
dinikmati secara komunal, simbol kebersamaan rakyat di bawah ideologi
komunis. Suplai pangan menipis dan habis namun Pol Pot menolak mengimpor
beras dan sembako lainnya dari luar negeri karena bertentangan dengan
prinsip-prinsip kemandirian. Khmer Merah justru menjual hasil pangan
dalam negerinya ke Cina untuk kemudian dibelikan senjata dan peralatan
tempur.
Lalu siapakah para musuh negara di mata
Khmer Merah? Mereka adalah rakyat biasa yang berprofesi sebagai dokter,
guru, seniman, para warga yang terdidik, mereka yang memiliki koneksi
dengan pemerintah lama atau berhubungan dengan orang asing. Bahkan orang
yang mengenakan kacamata minus saja bisa dijadikan musuh karena
dianggap kaum intelektual. Pria, wanita, bahkan anak-anak tanpa kecuali
akan ditangkap dan diinterogasi. Hampir semua dari mereka menemui ajal
di kamp-kamp interogasi atau dieksekusi di luar kota. Bagaimanakah
mereka diperlakukan selama interogasi?
Tuol Sleng
Kompleks di kota Phnom Penh ini dulunya adalah SMA Chao Ponhea Yat. Pada bulan Agustus 1975, Khmer Merah mengubah sekolah ini menjadi penjara yang diberi kode Security Prison 21 (S-21) yang sekarang dikenal dengan nama Tuol Sleng.
Para musuh negara yang ditangkapi tersebut sebagian dibawa ke kompleks
sekolah untuk kemudian diambil data dan fotonya secara teliti. Mereka
ditempatkan di ruang-ruang kelas yang telah diubah menjadi sel-sel
penjara dalam kondisi dirantai bahkan ketika hendak pergi tidur. Hampir
semua pakaian dilucuti dan mereka harus hidup menderita tanpa akses
sanitasi. Kotak amunisi kosong biasanya diubah menjadi toilet dan
dibersihkan dengan cara disemprot air oleh para penjaga. Banyak dari
para tahanan yang akhirnya meninggal akibat kondisi penjara yang
menyedihkan.
Para tahanan ini setiap hari menjalani
interogasi dan dipaksa mengarang-ngarang cerita tentang bagaimana mereka
menjadi musuh negara dan bekerja sebagai mata-mata CIA, atau melakukan
tindak kriminal lainnya seperti mencuri, merampok, dan memperkosa. Semua
pengakuan ini dilakukan di bawah tekanan karena kalau tidak dapat
mengarang cerita, mereka akan segera disiksa atau dieksekusi. Metode
interogasi dilakukan dengan cara mencabut kuku kaki dengan tang, setrum,
pecut, dan aksi-aksi keji lainnya. Berikut contohnya:
Ketika Phnom Penh dikepung tentara
Vietnam pada tahun 1979 dan rezim Khmer Merah di ambang kekalahan, para
penjaga mengeksekusi sisa 14 tahanan yang masih ada di beberapa ruangan
dalam kondisi dirantai di atas ranjang interogasi sebelum para penjaga
penjara melarikan diri. Keempat belas orang yang terakhir tersebut lalu
dimakamkan di halaman penjara.
Sekitar 17,000 orang pernah tinggal dan
melewati penjara ini sebelum dieksekusi atau dikirim ke ladang
pembantaian untuk dieksekusi pula. Hanya tujuh orang yang berhasil
selamat. Kini tempat ini berubah fungsi menjadi Tuol Sleng Genocide Museum yang menampilkan koleksi foto-foto korban secara close-up, dan beberapa foto post-mortem.
Ada pula pameran alat-alat siksaan, beberapa foto ketika penyiksaan
terjadi, dan koleksi pakaian para tahanan. Suasananya masih mencekam
bahkan meskipun tiga puluh tahun telah lewat.
Dalam usahanya mengembalikan fungsi Tuol
Sleng sebagai pusat pendidikan, pemerintah Kamboja membuka kelas-kelas
sejarah Tuol Sleng dan Khmer Merah yang diisi oleh akademisi dan para
mantan penjaga penjara. Kelas ini dibuka dua kali seminggu di lantai 3
gedung sekolah tersebut.
Namun bagi para tahanan tersebut, Tuol Sleng bukanlah akhir hidup mereka.
Ladang Pembantaian
Disebut demikian karena ke sinilah para
tahanan Tuol Sleng tersebut dikirim untuk dibunuh. Letaknya di pinggiran
selatan kota Phnom Penh yang dulunya sebuah kuburan warga Tionghoa. Ini
hanyalah salah satu dari sekitar 300 lokasi pembantaian yang tersebar
di seluruh Kamboja. Sebagian besar tidak dapat diakses karena area
sekelilingnya ditanami ranjau. Ada pula lokasi yang sudah terlupakan dan
jenazah para korban tidak akan pernah bisa ditemukan.
“To keep you is no benefit. To kill you no loss.”
Demikian semboyan favorit Pol Pot
pada waktu itu. Pada dasarnya lebih baik membunuh orang yang tak
berdosa secara tidak sengaja daripada secara tidak sengaja membiarkan
seorang musuh tetap hidup. Atas prinsip itulah setiap orang yang dibawa
ke mari akan dibunuh tanpa kecuali guna menumpas golongan intelektual
yang ‘berkhianat’ terhadap Angkar meski sebenarnya satu-satunya
pengkhianatan mereka mungkin hanyalah karena mereka pernah bersekolah.
‘The Killing Fields’
barangkali nama yang tepat disandangkan pada tempat ini. Para tahanan
Tuol Sleng datang kemari pada tengah malam. Satu truk berisi sekitar 20
orang yang mengira mereka sedang dipindahkan ke rumah baru. Seluruh
operasi dijalankan bertahun-tahun secara rahasia. Ketika mereka tiba di
tempat ini, mereka dikumpulkan untuk diabsen, diambil data dan kadang
diminta menandatangani dokumen tertentu. Lalu tanpa banyak basa-basi
lagi, mereka langsung dibariskan di depan regu tembak dan dieksekusi di
tempat.
Namun menjelang kejatuhan rezim Khmer
Merah ke tangan Vietnam, jumlah tahanan yang dikirim ke mari semakin
banyak dan tidak mungkin mereka semua dibunuh malam itu juga. Sebagian
besar akan ditempatkan di pondok-pondok tahanan sementara selama 2 hari.
Musik propaganda diperdengarkan keras-keras untuk menenggelamkan suara
jeritan para korban ketika hendak dibunuh. Kala para tentara kekurangan
amunisi, maka cara-cara lain digunakan seperti menyembelih korban dengan
batang palem, serat bambu, atau memukul kepala korban dengan sebatang
kayu. Bayi-bayi yang dibawa ke mari mengalami nasib yang sama
mengerikan. Mereka akan digantung terbalik dan kepalanya dihantamkan ke
sebatang pohon hingga tengkoraknya pecah, disaksikan oleh ibu mereka.
Jenazah (atau sisa jenazah) lalu
dikuburkan di beberapa lokasi kuburan massal. Namun sebagian besar tidak
dikubur. Mayat mereka dilempar begitu saja ke sebuah danau kecil yang
terletak di belakang kuburan. Berapa jumlah korban? Angkanya tidak
pernah pasti. Sepuluh ribu, tujuh belas ribu, dua puluh ribu, entahlah.
Jika Anda berkunjung ke mari, Anda akan
menemukan suasana hening dan khidmat. Para pengunjung akan mengamati
beberapa papan nama dan lokasi dalam diam sambil mendengarkan penjelasan
pemandu dari alat pendengar yang tersedia dalam berbagai bahasa. Ketika
Anda berdiam, sejenak pikiran Anda akan kembali ke masa silam, di mana
suara-suara jeritan para korban dan adegan pembunuhan kembali berkelebat
di kepala. Majulah beberapa langkah dan Anda akan menemukan bekas-bekas
pondok tempat para tentara bekerja, menyimpan peralatan eksekusi, dan
mengurung para tahanan. Terus maju ke arah sebuah danau kecil sambil
alat pendengar Anda menjelaskan sejarah Khmer Merah, detail lokasi dan
aktivitasnya pada masa itu, sampai pada pengakuan keluarga korban dan
juga mantan penjaga. Ketika berkeliling danau, Anda akan diperdengarkan
sebuah komposisi musik yang menggambarkan betapa mencekamnya tempat itu
dahulu.
Hati-hati bila berjalan di sini sehabis hujan.
Masih banyak jenazah yang belum terangkat di sekitar Anda. Tanah yang
basah akan menyingkap sebagian tulang, gigi, dan pakaian korban. Bila
Anda kebetulan menemukannya, segera beritahu petugas keamanan setempat.
Kini ladang pembantaian tersebut berubah nama menjadi Choeung Ek Genocidal Center.
Di halaman depan dibangun sebuah stupa indah yang menyimpan
tengkorak-tengkorak para korban. Tempat ini mewakili ratusan ladang
pembantaian lainnya di seluruh Kamboja dan menjadi peringatan akan
kekejaman tentara Khmer Merah yang membunuh jutaan saudara sebangsanya
sendiri.
Setiap pengunjung yang datang ke tempat
ini akan pulang dengan emosi bergemuruh, termasuk saya. Bagaimana bisa
pembunuhan terjadi begitu mudah dan nyawa manusia begitu murahnya atas
nama ideologi? Namun suara pemandu di alat pendengar saya bergetar
ketika mengingatkan bahwa bukan tidak mungkin peristiwa ini terjadi lagi
di masa depan. Bosnia, Jerman, Argentina, dan tempat-tempat lain telah
menyaksikan kekejian yang mirip. Choeung Ek menjadi salah satu penanda agar kekejaman seperti ini tetap diingat dan tidak boleh terulang lagi.
sumber : http://indobrad.web.id/2012/05/ladang-pembantaian/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar