Minggu, 23 September 2012

Ladang Pembantaian

Mayat-mayat mengerubung ketika kami berjalan, tidur, dan makan;
Bau bangkai tak tertahankan, menyeruak dari mayat-mayat yang bengkak dan membusuk
yang sebagian anggota tubuh dan kepalanya telah hilang
Ly Van Aggadipo, biksu

Phnom Penh, 17 April 1975. Pagi-pagi buta warga Phnom Penh terbangun oleh suara tembakan yang semakin mendekat ke kota. Suasana mencekam sudah terasa sejak berhari-hari sebelumnya dan mimpi buruk sudah di ambang kenyataan. Lon Nol telah mundur dari jabatannya sebagai Presiden Republik Khmer pada awal bulan dan mengungsi ke Bali atas undangan Soeharto yang merupakan kawan lama. Penggantinya, Saukham Khoy, tidak dapat berbuat banyak mengatasi keadaan genting perang saudara meski Amerika Serikat mendukung penuh pemerintahan Republik Khmer.
Lima hari lalu, kekalahan secara tidak resmi telah diakui dan Amerika Serikat melancarkan Operasi Eagle Pull untuk menarik duta besarnya beserta warga Amerika, warga asing, dan warga negara Kamboja termasuk presidennya yang terancam bahaya bila Khmer Merah masuk kota. Setelah sang presiden melarikan diri, pemerintahan tinggal menyisakan tujuh orang Komite Tertinggi yang bertugas mempertahankan Phnom Penh sampai titik darah penghabisan.
Namun malang tak dapat ditolak. Perimeter pertahanan Phnom Penh yang terakhir jatuh ke tangan komunis pada tanggal 15 April. Lalu pada pagi-pagi buta tanggal 17 April, Jendral Sat Suksakhan memindahkan pemerintahan ke provinsi Oddar Meanchay dan suara sang jendral terdengar melalui radio tepat pada pukul 10 pagi yang menyerukan agar angkatan bersenjata menghentikan pertempuran dan melakukan gencatan senjata dan bersiap melakukan perundingan untuk menyerahkan Phnom Penh ke tangan Khmer Merah. Pada akhirnya tentara Khmer Merah benar-benar memasuki kota, melucuti tentara, menangkap para pejabat tinggi kepresidenan yang masih tersisa, lalu menggiring para tawanan itu ke Cercle Sportif dan Olympic Stadium dan mengeksekusi mereka semua. Mimpi buruk itu pun menjadi kenyataan.
Musuh Negara
Guna memenuhi ambisinya menjadi negara petani dan menumpas habis unsur-unsur kapitalisme dari bumi Kamboja, Angkar, sebutan bagi organisasi Khmer Merah pimpinan Pol Pot, mengusir warga Phnom Penh dan kota-kota besar lainnya dari tempat tinggal mereka dan semuanya diperintahkan untuk kembali ke desa-desa asal masing-masing. Bagi yang menolak dengan alasan tidak punya kampung halaman akan menghadapi siksaan atau eksekusi. Warga tidak punya pilihan; berduyun-duyun mereka keluar dari kota sehingga Phnom Penh menjadi kota mati yang benar-benar kosong. Di pedesaan, situasinya juga tidak lebih baik. Rakyat dipaksa bercocok-tanam atau bekerja rodi membangun infrastruktur dengan hanya dibayar makanan sederhana yang mesti dinikmati secara komunal, simbol kebersamaan rakyat di bawah ideologi komunis. Suplai pangan menipis dan habis namun Pol Pot menolak mengimpor beras dan sembako lainnya dari luar negeri karena bertentangan dengan prinsip-prinsip kemandirian. Khmer Merah justru menjual hasil pangan dalam negerinya ke Cina untuk kemudian dibelikan senjata dan peralatan tempur.
Lalu siapakah para musuh negara di mata Khmer Merah? Mereka adalah rakyat biasa yang berprofesi sebagai dokter, guru, seniman, para warga yang terdidik, mereka yang memiliki koneksi dengan pemerintah lama atau berhubungan dengan orang asing. Bahkan orang yang mengenakan kacamata minus saja bisa dijadikan musuh karena dianggap kaum intelektual. Pria, wanita, bahkan anak-anak tanpa kecuali akan ditangkap dan diinterogasi. Hampir semua dari mereka menemui ajal di kamp-kamp interogasi atau dieksekusi di luar kota. Bagaimanakah mereka diperlakukan selama interogasi?
Tuol Sleng
Kompleks di kota Phnom Penh ini dulunya adalah SMA Chao Ponhea Yat. Pada bulan Agustus 1975, Khmer Merah mengubah sekolah ini menjadi penjara yang diberi kode Security Prison 21 (S-21) yang sekarang dikenal dengan nama Tuol Sleng. Para musuh negara yang ditangkapi tersebut sebagian dibawa ke kompleks sekolah untuk kemudian diambil data dan fotonya secara teliti. Mereka ditempatkan di ruang-ruang kelas yang telah diubah menjadi sel-sel penjara dalam kondisi dirantai bahkan ketika hendak pergi tidur. Hampir semua pakaian dilucuti dan mereka harus hidup menderita tanpa akses sanitasi. Kotak amunisi kosong biasanya diubah menjadi toilet dan dibersihkan dengan cara disemprot air oleh para penjaga. Banyak dari para tahanan yang akhirnya meninggal akibat kondisi penjara yang menyedihkan.
Para tahanan ini setiap hari menjalani interogasi dan dipaksa mengarang-ngarang cerita tentang bagaimana mereka menjadi musuh negara dan bekerja sebagai mata-mata CIA, atau melakukan tindak kriminal lainnya seperti mencuri, merampok, dan memperkosa. Semua pengakuan ini dilakukan di bawah tekanan karena kalau tidak dapat mengarang cerita, mereka akan segera disiksa atau dieksekusi. Metode interogasi dilakukan dengan cara mencabut kuku kaki dengan tang, setrum, pecut, dan aksi-aksi keji lainnya. Berikut contohnya:
Tiang ini awalnya digunakan oleh para siswa sekolah untuk berolah raga
Oleh Khmer Merah, tiang ini dipergunakan untuk menggantung para tahanan naik-turun sampai pingsan. Lalu kepala tahanan tersebut direndam di gentong di dekat tiang hingga sadar kembali. Begitulah proses interogasi terus berlangsung.
Ketika Phnom Penh dikepung tentara Vietnam pada tahun 1979 dan rezim Khmer Merah di ambang kekalahan, para penjaga mengeksekusi sisa 14 tahanan yang masih ada di beberapa ruangan dalam kondisi dirantai di atas ranjang interogasi sebelum para penjaga penjara melarikan diri. Keempat belas orang yang terakhir tersebut lalu dimakamkan di halaman penjara.
Di ranjang inilah salah satu tahanan terakhir yang ditemukan dalam kondisi sudah meninggal. Foto di dinding menunjukkan kondisi terakhir kamar tersebut lengkap dengan jenazah tahanan masih di atasnya (maaf, saya tidak dapat menampilkannya di sini)
Sekitar 17,000 orang pernah tinggal dan melewati penjara ini sebelum dieksekusi atau dikirim ke ladang pembantaian untuk dieksekusi  pula. Hanya tujuh orang yang berhasil selamat. Kini tempat ini berubah fungsi menjadi Tuol Sleng Genocide Museum yang menampilkan koleksi foto-foto korban secara close-up, dan beberapa foto post-mortem.  Ada pula pameran alat-alat siksaan, beberapa foto ketika penyiksaan terjadi, dan koleksi pakaian para tahanan. Suasananya masih mencekam bahkan meskipun tiga puluh tahun telah lewat.
Bekas penjara yang berubah menjadi museum. Tampilannya masih dipertahankan apa adanya.
Dalam usahanya mengembalikan fungsi Tuol Sleng sebagai pusat pendidikan, pemerintah Kamboja membuka kelas-kelas sejarah Tuol Sleng dan Khmer Merah yang diisi oleh akademisi dan para mantan penjaga penjara. Kelas ini dibuka dua kali seminggu di lantai 3 gedung sekolah tersebut.
Namun bagi para tahanan tersebut, Tuol Sleng bukanlah akhir hidup mereka.
Ladang Pembantaian
Disebut demikian karena ke sinilah para tahanan Tuol Sleng tersebut dikirim untuk dibunuh. Letaknya di pinggiran selatan kota Phnom Penh yang dulunya sebuah kuburan warga Tionghoa. Ini hanyalah salah satu dari sekitar 300 lokasi pembantaian yang tersebar di seluruh Kamboja. Sebagian besar tidak dapat diakses karena area sekelilingnya ditanami ranjau. Ada pula lokasi yang sudah terlupakan dan jenazah para korban tidak akan pernah bisa ditemukan.
“To keep you is no benefit. To kill you no loss.”
Demikian semboyan favorit Pol Pot pada waktu itu. Pada dasarnya lebih baik membunuh orang yang tak berdosa secara tidak sengaja daripada secara tidak sengaja membiarkan seorang musuh tetap hidup. Atas prinsip itulah setiap orang yang dibawa ke mari akan dibunuh tanpa kecuali guna menumpas golongan intelektual yang ‘berkhianat’ terhadap Angkar meski sebenarnya satu-satunya pengkhianatan mereka mungkin hanyalah karena mereka pernah bersekolah.
‘The Killing Fields’ barangkali nama yang tepat disandangkan pada tempat ini. Para tahanan Tuol Sleng datang kemari pada tengah malam. Satu truk berisi sekitar 20 orang yang mengira mereka sedang dipindahkan ke rumah baru. Seluruh operasi dijalankan bertahun-tahun secara rahasia. Ketika mereka tiba di tempat ini, mereka dikumpulkan untuk diabsen, diambil data dan kadang diminta menandatangani dokumen tertentu. Lalu tanpa banyak basa-basi lagi, mereka langsung dibariskan di depan regu tembak dan dieksekusi di tempat.
Namun menjelang kejatuhan rezim Khmer Merah ke tangan Vietnam, jumlah tahanan yang dikirim ke mari semakin banyak dan tidak mungkin mereka semua dibunuh malam itu juga. Sebagian besar akan ditempatkan di pondok-pondok tahanan sementara selama 2 hari. Musik propaganda diperdengarkan keras-keras untuk menenggelamkan suara jeritan para korban ketika hendak dibunuh. Kala para tentara kekurangan amunisi, maka cara-cara lain digunakan seperti menyembelih korban dengan batang palem, serat bambu, atau memukul kepala korban dengan sebatang kayu. Bayi-bayi yang dibawa ke mari mengalami nasib yang sama mengerikan. Mereka akan digantung terbalik dan kepalanya dihantamkan ke sebatang pohon hingga tengkoraknya pecah, disaksikan oleh ibu mereka.
Jenazah (atau sisa jenazah) lalu dikuburkan di beberapa lokasi kuburan massal. Namun sebagian besar tidak dikubur. Mayat mereka dilempar begitu saja ke sebuah danau kecil yang terletak di belakang kuburan. Berapa jumlah korban? Angkanya tidak pernah pasti. Sepuluh ribu, tujuh belas ribu, dua puluh ribu, entahlah.
Jika Anda berkunjung ke mari, Anda akan menemukan suasana hening dan khidmat. Para pengunjung akan mengamati beberapa papan nama dan lokasi dalam diam sambil mendengarkan penjelasan pemandu dari alat pendengar yang tersedia dalam berbagai bahasa. Ketika Anda berdiam, sejenak pikiran Anda akan kembali ke masa silam, di mana suara-suara jeritan para korban dan adegan pembunuhan kembali berkelebat di kepala. Majulah beberapa langkah dan Anda akan menemukan bekas-bekas pondok tempat para tentara bekerja, menyimpan peralatan eksekusi, dan mengurung para tahanan. Terus maju ke arah sebuah danau kecil sambil alat pendengar Anda menjelaskan sejarah Khmer Merah, detail lokasi dan aktivitasnya pada masa itu, sampai pada pengakuan keluarga korban dan juga mantan penjaga. Ketika berkeliling danau, Anda akan diperdengarkan sebuah komposisi musik yang menggambarkan betapa mencekamnya tempat itu dahulu.
Hati-hati bila berjalan di sini sehabis hujan. Masih banyak jenazah yang belum terangkat di sekitar Anda. Tanah yang basah akan menyingkap sebagian tulang, gigi, dan pakaian korban. Bila Anda kebetulan menemukannya, segera beritahu petugas keamanan setempat.
Siapa sangka danau tenteram ini menyimpan puluhan ribu jenazah yang hingga kini masih tenggelam di dalamnya?
Jalan setapak mengelilingi danau yang damai
Sisa-sisa pakaian korban
Sebagian tengkorak yang berhasil ditemukan
Kini ladang pembantaian tersebut berubah nama menjadi Choeung Ek Genocidal Center. Di halaman depan dibangun sebuah stupa indah yang menyimpan tengkorak-tengkorak para korban. Tempat ini mewakili ratusan ladang pembantaian lainnya di seluruh Kamboja dan menjadi peringatan akan kekejaman tentara Khmer Merah yang membunuh jutaan saudara sebangsanya sendiri.
Choeung Ek Memorial Stupa
Setiap pengunjung yang datang ke tempat ini akan pulang dengan emosi bergemuruh, termasuk saya. Bagaimana bisa pembunuhan terjadi begitu mudah dan nyawa manusia begitu murahnya atas nama ideologi? Namun suara pemandu di alat pendengar saya bergetar ketika mengingatkan bahwa bukan tidak mungkin peristiwa ini terjadi lagi di masa depan. Bosnia, Jerman, Argentina, dan tempat-tempat lain telah menyaksikan kekejian yang mirip. Choeung Ek menjadi salah satu penanda agar kekejaman seperti ini tetap diingat dan tidak boleh terulang lagi.

sumber : http://indobrad.web.id/2012/05/ladang-pembantaian/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar